Hukum Menjual Barang yang tidak Dimiliki
Jika saya mempunyai kesepakatan dengan seseorang untuk menjual produknya, kemudian orang tersebut menitipkan ke saya — sebut saja 50 item produk tadi — untuk saya jualkan, apakah itu boleh ustadz ? Padahal, ketika saya menjual produk itu, saya tidak keluar modal sama sekali?
Gunardiyan Wh - Jakarta
Jawaban :
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan, dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin membeli sesuatu yang tidak ada padaku. Bolehkah aku membelikan barang itu untuknya dari pasar?” Kemudian, Nabi bersabda, “Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.” (HR Tirmizi, al-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Hadis ini menunjukkan larangan untuk menjual barang atau sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual. Dalam riwayat lain disebutkan, dari Abdullah bin ‘Amru, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak halal menggabungkan antara piutang dan akad jual beli, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu.’” (HR Tirmizi, al- Nasa’i, Abu Daud, dan Ahmad).
Dalam Zad al-ma’’ad, Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “menjual yang tidak dimiliki” adalah menjual barang yang tidak diketahui apakah akan didapatkannya atau tidak, tidak ada kepastian penjual akan mendapatkan barang tersebut. Inilah jual beli yang dilarang oleh agama, bukan karena ketiadaan barangnya, melainkan karena unsur gharar di dalamnya.
Masalah dan kesepakatan yang digambarkan dalam pertanyaan bukanlah termasuk ke dalam kategori menjual sesuatu yang tidak dimilikinya. Hal itu masuk ke dalam akad atau transaksi wakalah (perwakilan), di mana si pemilik barang mewakilkan kepada penjual untuk menjualkan barangnya, baik itu dengan imbalan maupun tanpa imbalan.
Transaksi wakalah adalah salah satu jenis transaksi yang dihalalkan dalam syariat Islam. Urwah al-Bariqi meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memberinya uang satu dinar agar ia membelikan seekor kambing untuk beliau maka Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu menjual salah satunya seharga satu dinar.
Dan, ia pun datang menghadap Nabi dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing. Kemudian, Nabi mendoakannya agar mendapatkan keberkahan dalam perniagaannya. Sehingga, andai kata ia membeli debu, niscaya ia akan mendapatkan keuntungan padanya (HR Tirmizi, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dalam hadis ini, Nabi mewakilkan kepada Urwah untuk membelikannya seekor kambing dengan memberikan uang satu dinar. Karena, kepandaian Urwah dalam berdagang maka ia bisa membelikan dengan uang satu dinar itu dua ekor kambing, lalu menjual yang seekor lagi dengan harga satu dinar sehingga ia kembali kepada Nabi dengan membawa satu ekor kambing dan uang satu dinar.
Dalam kitab al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa ada ijma’ kaum Muslimin tentang dibolehkannya akad wakalah (perwakilan) karena ada keperluan yang mendesak untuk itu, di mana tidak mungkin seseorang bisa melakukan segala sesuatu yang dibutuhkannya maka perlu terhadap akad tersebut.
Begitu juga dalam kesepakatan ini, Anda berhak untuk menjual barang atau produk yang dimintakan kepada Anda untuk menjualnya karena orang yang mempunyai produk sudah mewakilkan untuk menjualkan barangnya. Dan, barangnya itu sudah diserahkan kepada Anda untuk dijual. Maka, ia tidak termasuk menjual barang yang tidak dimiliki sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi SAW.
Wallahu a’lam bish-shawab ■
Oleh : Ustadz Bachtiar Nasir
Sumber : Konsultasi Agama, Republika, Kamis, 3 Januari 2013 / 20 Safar 1434 H
Posting Komentar
Mari Berkomentar Dengan Bijak,Demi Kemajuan Ilmu Kita Bersama