Ketaatan Sang Istri Kepada Suaminya

Setiap pasangan suami isteri pasti mendambakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Rumah tangga akan harmonis dan bahagia jika masing-masing dari keduanya merasakan ketentraman, cinta, dan kasih sayang. Namun semuanya itu tidak akan pernah terwujud kecuali jika setiap pasangan mengerti dan memahami tugas masing-masing. Sebagaimana keduanya memiliki hak, keduanya juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab.

Kewajiban utama seorang suami adalah menjadi kepala rumah tangga, pemimpin dalam komunitas keluarga, yang bertanggung jawab mengayomi, melindungi, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga. Sedangkan kewajiban utama seorang istri adalah menaati dan melayani suami.
“Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, berpuasa di bulan Ramadhannya, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau suka”

Dalam konteks kewajiban taat seorang istri kepada suaminya, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – pernah bersabda,

“Sekiranya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan kuperintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.”[2]

Melalui hadits mulia ini, Rasulullah shollallohu‘alaihi wa sallam, ingin menyampaikan pesan kepada para istri, bahwa suami memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Suami layaknya nahkoda yang mengatur jalannya rumah tangga kala mengarungi lautan kehidupan. Maka semestinya ia ditaati, bukan didurhakai, seharusnya ia diikuti, bukan dikhianati. Dan seorang istri shalihah yang berimana kepada Allah dan RasulNya, tidak akan memandang kewajiban taat ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap wanita, kekerasan dalam rumah tangga, atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang kafir dan para pengekor mereka.
Akan tetapi, ia akan memandang bahwa kewajiban taat ini merupakan bentuk ketaatan kepada Allah yang telah menciptakanNya, menciptakan suaminya, dan menciptakan adanya hubungan suci nan mulia di antara keduanya. Ia akan mengatakan, “Kami dengar, dan kami taat”, kemudian ia akan menunaikannya dengan penuh ketulusan dari lubuk hati dan keikhlasan karena mengharap ridha Ilahi.

Namun yang perlu dipahami di sini adalah, sejauh manakah kewajiban taat seorang istri kepada suaminya? Apakah ia merupakan ketaatan mutlak tanpa batas? Ketaatan yang menjadikan istri layaknya budak kepada tuannya? Ataukah ada suatu kondisi di mana ketaatan itu boleh dilanggar, atau bahkan wajib didurhakai?

Dalam hal ini, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – telah menggariskan satu kaidah agung yang harus dipahami dengan penuh keimanan oleh masing-masing pasangan. Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla.”[3]

Beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – juga bersabda,
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf.”[4]

Ya, ketaatan istri kepada suami bukan hanya karena suami telah menafkahinya, melindunginya, dan memenuhi segala kebutuannya. Akan tetapi lebih dari itu, ketaatan istri kepada suami adalah merupakan bentuk ketaatan kepada Allah ta’ala.

Karena Allah telah memerintahkan istri untuk taat kepada suami. Oleh karena itu, ketaatan seorang istri kepada suaminya harus disesuaikan dengan ketaatan kepada Allah ta’ala. Sebab, jika kewajiban taat dan patuh kepada suami sangatlah besar, maka kewajiban taat dan patuh kepada Allah, tentu lebih besar lagi, karena Allah-lah yang telah menciptakan ia dan suaminya, dan mengikatkan tali cinta suci di antara keduanya.

Artinya, kepatuhan istri kepada suami dibatasi pada hal-hal yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Jika sang suami memerintahkannya melakukan suatu kemaksiatan –sekecil apa pun kemaksiatan itu-, maka sebesar apa pun kecintaannya kepada sang suami, ia tidak boleh mematuhinya.

Di antara contoh perintah suami yang tidak boleh ditaati oleh istri:

Suami menyuruh istri berbuat syirik atau kufur
Jika suami memerintahkan istrinya untuk melakukan atau membantu suatu perbuatan syirik; menyuruhnya pergi ke dukun, mencari penglaris untuk dagangan, mengalungkan jimat pada anaknya, atau apa pun bentuk kesyirikan itu, maka istri tidak boleh patuh dan wajib membantah perintah suaminya, meski sang suami tidak senang, tidak ridha, murka, atau bahkan hendak menceraikannya.

Bahkan dalam suatu kondisi, apabila sang suami tidak bisa dinasihati, tidak mau bertaubat dari kesyirikannya, sang istri boleh menggugat cerai dari suaminya yang musyrik. Karena keberadaannya di sisi suami, akan mengancam akidahnya. Suaminya yang musyrik itu akan dapat menjerumuskannya ke dalam kemurkaan Allah Azza wa Jalla. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mencari keridhaan Allah dengan kemurkaan manusia, niscaya Allah akan mencukupinya dari tuntutan manusia, dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan murka Allah, niscaya Allah akan menyerahkannya kepada manusia.”[5]

Suami menyuruh berbuat bid’ah
Di samping kesyirikan, penyakit kronis yang sudah mendarah daging pada masyarakat kita adalah banyaknya perbuatan bid’ah yang sudah dianggap sebagai sunnah. Padahal, melakukan bid’ah merupakan bentuk kedurhakaan kepada Allah ta’ala dan RasulNya – shollallohu ‘alaihi wa sallam -. Oleh karena itu, jika suami memerintahkan istri untuk melakukan amalan bid’ah atau membantu suami merayakan ritual-ritual bid’ah, maka di sini pun istri tidak boleh patuh.

Suami menyuruh membuka aurat
Mengenakan jilbab (busana syar’i wanita Muslimah) hukumnya wajib. Jika suami memerintahkan istri untuk melepas kerudungnya atau membuka aurat lainnya, dengan alasan untuk pekerjaan atau apa pun alasannya, maka istri tidak boleh mematuhinya. Jika istri mematuhinya, berarti ia telah durhaka kepada Allah ta’ala. Allah berfirman, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).

Suami menyuruh membeli rokok
Meski rokok belum ada di zaman Rasulullah shollallohu‘alaihi wa sallam, namun Islam telah datang dengan membawa nash-nash umum yang mengharamkan segala sesuatu yang mudarat, keji, menjijikan, mengganggu orang lain, menyia-nyiakan harta, tidak ada manfaatnya, serta membinasakan, dan rokok telah mengumpulkan segala keburukan ini, oleh karena itu semua ulama ahlus sunnah telah sepakat bahwa rokok hukumnya haram[6], sehingga istri tidak boleh patuh jika suami minta dibelikan atau dicarikan rokok, karena itu merupakan bentuk tolong menolong dalam kemaksiatan, dan jika istri patuh dalam hal ini, maka ia akan berdosa.

Suami minta dilayani di ranjang, sedangkan istri dalam keadaan haidh,
Istri tidak diperkenankan menolak ajakan suaminya untuk berhubungan intim, jika istri menolak (tanpa alasan syar’i), maka ia akan dilaknat hingga suaminya itu ridha.[7]

Namun demi suatu hikmah dan kemaslahatan, Islam telah mengatur rambu-rambu bagi suami istri dalam berhubungan intim, dan jika rambu-rambu itu dilanggar, maka mereka akan terjatuh ke dalam dosa.
Diantara rambu-rambu itu adalah tidak boleh berhubungan intim ketika istri sedang haidh, oleh karena itu istri harus menolak ajakan suami untuk berhubungan intim jika ia sedang haidh. Namun dalam kondisi seperti ini keduanya boleh melakukan apa saja selain jimak.

Demikian juga apabila suami mengajak istri untuk berhubungan intim melalui dubur, maka ia juga harus menolaknya. Jika tidak, maka keduanya justru akan mendapatkan murka dari Allah ta’ala. [8]

Dan demikianlah seterusnya, segala bentuk perintah suami yang mengandung kemaksiatan serta kedurhakaan kepada Allah, maka istri tidak boleh mematuhinya.
Namun yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh istri adalah, bahwa ketika suami memerintahkannya melakukan satu kemaksiatan, bukan berarti itu menggugurkan ketaatan istri secara keseluruhan, akan tetapi kewajiban tidak taatnya itu hanya berkenaan dengan perintah yang mengandung kemaksiatan tersebut.

Istri juga tidak diperkenankan untuk serta merta marah, benci, dan menghardik suami yang melakukan atau memerintahkan kemaksiatan. Akan tetapi harus tetap ada usaha untuk menasihati dan memberikan pengertian kepada suami. Dan istri yang shalihah adalah istri yang bisa bijak tatkala menghadapi kesalahan suaminya, bisa memberinya nasihat tanpa terkesan menggurui, bisa mengingatkannya tanpa membuatnya tersinggung.

Semoga Allah ta’ala memberikan taufikNya kepada kita semua, amin.

[1] HR. Ahmad, no. 1664. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 660.

[2] HR. Ahmad, no. 18913; at-Tirmidzi, no. 1159; dll. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 3366.

[3] HR. Ahmad, no. 1098, dan lainnya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 7520.

[4] HR. al-Bukhari, no. 7145 dan Muslim, no. 1840.

[5] HR. at-Tirmidzi, no. 2414. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 6097.

[6] Lihat kutaib, Hukmu at-Tadkhin fi Dhau` ath-Thib wa ad-Din, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.

[7] Lihat hadits riwayat al-Bukhari, no. 3237.

[8] Lihat hadits riwayat at-Tirmdzi, no. 135, dan lainnya.

Sumber : Majalahsakinah

0/Post a Comment/Comments

Mari Berkomentar Dengan Bijak,Demi Kemajuan Ilmu Kita Bersama

Lebih baru Lebih lama